Yang Gundah Terbeban Serapah.
by MasPatikrajaDewaku
Sejuknya
tempat berteduh membuat para panakawan terlena duduk terkantuk.
Sementara Pamadi sendiri duduk berdiam diri. Semar yang tidak tahan
dengan suasana beku kemudian memanggil salah satu anaknya. “Tole, Nala Petruk . . . “
Petruk yang dipanggil tertawa kecil kemudian katanya, “Aku bilang, ini bukannya keliru, tapi ini disengaja. Apa ada, Nala kok Petruk. . . . . ?!”
“Biar saja, yang kasi nama situ, yang ngerusak ya situ. Biarkan saja!” Gareng ikut ikutan menjawab dengan ketus, “Kalau
orang tua yang tau tuanya, mestinya harus mengerti segala tingkah
tanduk, dan suaranya juga harus mengikut irama, tidak gegabah dengan
suaranya. Dulu siapa yang memberi nama kita ini. Pastilah bapak kita,
Kyai Semar. Nala Gareng sudah tepat buat aku. Nala Gareng itu nama yang
bener, sampeyan ini maunya gimana to Ma? Kalau yang dipindah cuma nama
saja boleh-boleh saja, kalau rumahkuyang dipindah juga nggak apa apa.
Nah kalau yang dipindah istriku, gimana coba”. Gareng mencoba protes ke Semar
“Lha
kalau yang dipindah istrimu, apa aku sudi begitu Kang? Jangan mengukur
aku dengan ukuran kamu. Aku itu kalau bukan orang yang “mbudaya”,
enggak kok. Kalau aku bilang enggak kalau bukan yang kinyis-kinyis,
seperti bidadari yang menjelma manusia” Petruk yang tidak enak sama Gareng menjawab. Gareng diam.
“Toleee . . . , Kanthong Gareng”.
Petruk maklum, maka ia menjawab panggilan bapaknya walaupun itu salah. “Yahh,
apapun itu, aku mau jawab. Sebab yang kasih nama situ kok. Biasanya
kalau enggak dituruti, nanti trus marah. Jadi, bener aku turuti, salah
juga aku ikuti, kalau sudah terpojok dia bakal mati kutu!!”.
“Orang tua kok maunya diasuh! Apa ada yang seperti kyaine itu”. Gareng yang belum hilang mangkelnya kembali nyerocos. “Seharusnya
yang diasuh kan kita ini. Apa-apa bisik-bisik jangan bilang ke ibumu.
Penyakit menempel. Nggak sampai disapu angin ribut, baginya sudah nama
untung. Kalau tidak orang tua yang umurnya sudah banyak, entah bakal aku
apakan dia!”.
“Silakan Pak Bei meneruskan umpatan Bapak”. Kata Semar “Eeeh kamu ngomongin bapakmu dihadapanku, nyerocos, banyak banyak kata-katamu he”.
“Tolee, Jangkrik Genggong . . . . “ Kembali Semar memanggil anaknya, Bagong, pura-pura salah panggil
“Yang mana lagi ini yang dipanggil?” Petruk juga pura-pura tanya.
“Nggak
tau ya, siapa yang dipanggil. Jangan jangan dia punya anak lagi selain
kita. Diam-diam rama Semar itu juga suka slundap-slundup begitu.
Kelihatannya nggak, tapi nggak taunya iya. Lha emang dianya sudah tua.
Lah lain lagi kalau seperti kamu, Kang Gareng, yang masih muda, enggak
agak iya dan kalau iya jadinya agak seperti tidak. Makanya mudah
ketauan”.
“Genggong . . “.
“Apa Ma? “Weton” kamu dulu apa ta Ma?” tanya Bagong yang mau tidak mau memutuskan untuk menjawab.
“Eeeh . . . . ada apa anak ini pake tanya tanya?”
“Aku
mencari tau hari lahirmu, aku mau santet kamu Ma. Orang memberi nama
Bagong kok terus jadi jangkrik genggong. Itu kan namanya sampean itu
tidak menghargai suaramu sendiri”.
“Lho namamu siapa sebenarnya?” tanya Semar.
“Namaku Bagong . .”
“Aku
panggil jangkrik genggong kok kamu nyahut? Kamu “galak lidah” ya? Kamu
mau tau urusan orang, selalu iri dengki, kalau sesuatu yang lain,
seharusnya disarung lebih dulu”.
“Disaring, bukan disarung . . . “ Jelas Petruk menyela.
“Aku tidak memanggil dia kok dia main nyaut saja.”
“Ya
sudah kalau nggak manggil aku ya nggak apa-apa. Tapi aku kan sampeyan
yang bawa, iya kan? Setelah sampeyan nggak bisa menyesuaikan diri kok
aku disia-sia?!” jawab Bagong yang kemudian diam.
“Aku heran Thole”. Semar mulai mengalihkan pembicaraan.
“Heran yang bagaimana?” Petruk yang masih sabar, menjawab
“Berkali kali kalau mengikut bambangan (satria turun gunung) kok susah dimengerti. Oh mbok dadung manuk (tali penjerat burung;[kala]), kala-kala Bambangan harusnya hatinya gembira. Sebutan raksasa; [kala], kala-kala harusnya membuat hati gembira. Ketonggeng kecil; (dapat dari kata [kala]); kala-kala harusnya kita mengikut bambangan memjadikan kita gembira, nggak harus selalu mengerinyitkan dahi”. Semar menjelaskan dengan wangsalan.
Lalu kemudian melanjutkan. “Aku
sampai kisruh bolehnya mengira-ira. Menafsirkan orang diam itu malah
sulit. Diam karena memang wataknya atau diam karena susah. Apa juga diam
karena marah, sampai susah aku menduga duga”.
Keluh Semar nyerempet ke Gareng “Beda
dengan diamnya Gareng, Cuma ada dua sebab, kalau nggak sedih ya cari
kesempatan. Itulah bedanya dengan momongan kita, Permadi”. Kembali Gareng yang temperamental hendak marah tapi ditahan Petruk.
Setelah reda Gareng malah menyahut “Sudahlah
Ma, yang sudah-sudah ya jangan diulangi lagi. Yang penting, dulu kita
sudah sanggup mencari adanya Dewi Erawati, yang sudah dicuri oleh “duratmuka”.
“Apa itu?” Tanya Petruk.
“Duratmuka” itu bukannya nama lain dari pencuri?” balik Gareng nanya.
“Reng, sebetulnya kamu ngerti sastra apa enggak sih? Duratmaka kok kamu bilang duratmuka ?!”. kembali Petruk memberi penjelasan”.
“Ooh
pantesan aku pernah diketawain orang tuh, aku pernah ndongeng dihadapan
orang sependapa, aku bilang begini: Para hadirin, yang namanya Bethari
Nagagini itu sebenarnya bidadari. Tetapi kalau sedang triwikrama dia
bisa menjadi “sardula”. Aku kira sardula itu artinya ular, nggak taunya sardula itu berarti macan. Maka
aku ditertawakan orang banyak. Nggak taunya menerapkan kata sastra itu
tidak gampang, ya Truk. Pakai tata bahasa dan pakai tata cara”. Gareng pasrah
“Ya iya lah”. Petruk menjelaskan “Saya terima dengan tangan saya dwi, itu juga tidak boleh. Aku terima dengan kedua tangan, harusnya begitu”.
“Ada lagi yang menertawai aku sampai tertawa ngakak, sewaktu aku menggambarkan diri aku sendiri”. Gareng kembali mengisahkan ketika ia salah menggunakan sastra.
“Yang macam mana?”
“Para hadirin, kalau saya berdandan seperti ini, saya kelihatan seperti layaknya seorang “rajakaya” . nah disini orang orang pada ketawa semua.”
“Yang kamu maksud itu apa?”
“Rajakaya menurutku raja yang kaya.” Gareng menjelaskan kesalahannya
“Bukan! Rajakaya artinya kerbau sapi kambing dan binatang ternak sejenisnya.”
Bagong yang dari tadi diam, ikut menyela, “Ini pada ribut masalah pribadi apa merembuk kita ikut orang? Kamu itu digaji” . Petruk dan Gareng yang sedari tadi ribut kini terdiam.
Suasana
yang menjadi sepi membuat Semar membuka mulut. Ia menyanyikan pupuh
Dhandanggula dengan laras pelog. Tangannya mengipas kipaskan daun waru,
walau udara sebenarnya sejuk.
Kawruhana, sajatining urip
Manungsa ‘ku urip aneng donya
Prasasat mung mampir ngombe,
Upama peksi mabur, oncat saking kurunganeki,
Pundi pencokan mbenjang, ywa kongsi kaliru
Upama wong lunga sanja, jan sinanjan tan wurunga bakal mulih
Mulih mula mulanya.
Kurang lebih artinya:
Mengertilah, sesungguhnya
manusia hidup didunia itu
hanya seperti (orang) mampir minum
umpama burung terbang, lepas dari kurungannya
dimana ia bertengger nantinya, janganlah sampai keliru.
umpama orang bepergian, bergaul, dan tidak urung pulang kembali,
pulang ke asal mulanya.
Demikian
Semar mengakiri tembang Dhandhanggula, sambil tetap mengipas kipas
badannya. Belum puas, satu bait lagi ditembangkannya masih dengan
Dhandhanggula-nya
Angudhari (?) wasitaning ati
cumanthaka aniru pujangga
dhahat mudha ing batine
nanging kedah ginunggung
datan wruh yen akeh ngesemi
ameksa angrumpaka, basa kang kalantur
tutur kang katula tula, ginalaten winuruk kalawan ririh
mrih padhanging sasmita. . . .
(pupuh
ini menyindir penulis yang berani beraninya menulis disini seperti
layaknya seorang pujangga. Walau banyak yang hanya senyum melihat
kecethekan tulisannya. Tapi saya pikir lebih baik bertindak daripada
hanya diam. Dan saya butuh “ririhnya wuruk” atau “comment” membangun
dari anda pembaca)
Demikian setelah Dhandhanggula selesai, menyusul langgam Setya Tuhu berkumandang
Aku kang setya satuhu/ wit biyen nganti saiki/ bebasane, peteng kepapag obor sumunar//
Andika pangayomanku/ lahir batin tuwuh nyata/ mung sajake andika semune kurang rena//
Tandha yekti paseksene, rikalane/ najan awrat. . . / mlampah tebih datan nesu/ (mugh lestari-a) . . .
Mugya_ antuk berkahing widi/ andika mung tansah limpad/ panyuwunku, setya kula, tansah anglam-lami//
Diriku yang benar-benar setia
dari dulu hingga kini
seupama dalam kegelapan, bertemu dengan sinaran obor
Dirimulah pengayomanku
lahir dan batin tumbuh menjadi nyata
tapi agaknya andika kurang berkenan.
Saksi akan tanda-tanda itu
walau seberat apapun
jalan sejauh apapun (aku) tidak marah
Semoga mendapat berkah dari tuhan
andika selalulah dapat mengatasi
Permintaanku, kesetiaanku akan selalu (engkau) kenang.
Terkantuk kantuk anak-anak Semar mendengarkan langgam yang demikian mencabut sukma.
Setelah dilihat anak-anaknya terlena oleh irama tadi, Semar menyapa Pamadi, “nDara
Permadi, abdi paduka sudah menanti. Segera andika beri kami keterangan,
ini mau kemana. Mau ke utara, keselatan atau tetap nongkrong disini
saja? Bagaimana mau selesai pekerjaankita, kalau kita tetap diam seperti
ini”.
Bagong yang berbaring-baring masih membuka mulut memberi masukan terhadap bapaknya “Itu
salahmu Ma, yang nggak bisa memuaskan momongan kita. Maunya slendro kok
dikasih pelog. Coba sekarang diberi slendro, setelah tadi kita suguhi
pelog ternyata belum lega.”
Semar diam mencerna kata kata Bagong. Kemudian Semar buka mulut menembangkan Sinom Grandel.
Memanismu kang ngujiwat
agawe rujiting galih
‘rerepa kang sinedya
upama mundhuta rukmi,
Tartamtu tak turuti
ibarat wong numpak prau
lumampah tanpa welah
neng madyaning jalanidi,
temah gonjing anggenjong neng pagulingan.
[Catatan:
Pupuh Sinom Grandhel ini sangat tenar untuk saat sekarang, dimana
dhalang banyak yang bertindak selaku MC dan penyaji pilihan pendengar.
Mereka, para dhalang, banyak yang meluangkan waktunya mengatur para tamu
dan penonton yang hendak ikutan berpartisipasi unjuk kebolehan, hingga
melantur dari cerita pagelaran yang sesungguhnya] ;)
Selesai Sinom Grandhel, “bawa” ini diteruskan dengan gending “Sapa Ngira”:
Sapa
ngira/ bareng wus akhir diwasa// tandang tanduk solahe sarwa jatmika/
welingku aja kemba/ anggonmu darbe prasetya/nandyan aku tan kengguh
mulat endahe/ya mung kowe katon ngawe awe/ sebab/ sapa ngira pinter
ngadi sarirane/ sapa ngira- sapa ngira/ muga nindakna utama/
singkirana-singkirana/ panggoda kang tan prayoga//.
Pamadi yang merasa terhibur dengan tingkah para pemomongnya tersenyum, panggilnya kemudian, “Semar . . . . . . ”.
Terkaget, Semar menjawab tergesa-gesa, “Eee saya. Ada yang hendak andika perintahkan?”
“Bingung
rasa hati ini, yang sudah kadung sanggup memulangkan kanda Erawati ke
Mandaraka. Tetapi kakang, sampai sekarang belum ada titik terang, dimana
adanya kanda Herawati. Cara apa yang harus aku tempuh, bagaimana bila
tidak ada keterangan. Apa nanti ada kejadian Pamadi mendapat malu”.
Jelas Parmadi. Suasana hati yang gundah, telah menjadikannya buntu
jalan pikirannya. Belum lagi kata kata serapah dari Surtikanti ketika
menjelang berangkat, masih membebani benaknya.
Semar yang tahu betapa galau rasa hati momongannya, kemudian mencoba memberikan pencerahan. “Eeeeh
. . . , Jangan sampai bicara begitu, sampeyan itu satriya tohjali-nya
jagad. Bicara begitu boleh, ngresula juga boleh, tetapi harus
mengutamakan rasa nelangsa. Nelangsa itu tidak berarti mutung, tapi
pasrah kepadaNya. Walau dalam tata lahir tetep menjalankan tugas, tapi
dalam batin juga disertai dengan tetap menjalankan perintah Tuhan.
Sebab, orang yang hanya bekerja tetapi tidak ingat terhadap Tuhannya,
tidak urung akan selalu menemukan kegelapan. Beda kalau dalam bekerja
itu dibarengi dengan laku ‘ibadah. Selain menjadikannya terang jalan
yang hendak dilalui, juga sejumlah hal yang ruwet akan bisa terurai.
Berbagai hal yang ganjil gampang digenapi. Apalagi bila andika selalu
ingat setiap pelajaran dari eyang andika di Saptaharga, Resi Abiyasa”
Permadi
kemudian diam. Semar masih mencoba menaikkan kejiwaan momongannya.
Sekarang ia melantunkan kembali “pada” (bait) tembang yang sekiranya
bisa sebagai pancadan penggugah semangat.
Saben mendra saking wisma
lelana laladan sepi
ngisep sepuhing supana
mrih pana pranawa_ ing kapti
Tistis ing tyas marsudi
mardawaning budya tulus
mesu reh tyas kasubratan
neng tepining jalanidhi
sruning brata kataman wahyu dyatmika
“Yang tadi Itu mau saya artikan seperti ini:
Saben mendra saking wisma, setiap pergi dari rumah. Lelana laladan sepi; bepergian cari tempat yang sepi. Ngisep sepuhing supana; mencari kekuatan diri seperti halnya menyepuh emas. Mrih pana pranaweng kapti; supaya terang jelas dalam hati. Tistising tyas marsudi; sejuk dalam hati yang sebenarnya adalah mencari dimana adanya, Mardawaning budya tulus; mardawa artinya memperpanjang budi yang tulus. Dengan sarana mesu reh tyas kasubratan, artinya mau menjalankan tapa-brata. Neng tepining jalanidi; walau ditepi samudra sekalipun. Tetapi
yang diartikan disini adalah; bukanlah gelarnya samudra itu sendiri.
Tetapi sebenarnya adalah gelar cita cita. Alun dan ombak samudra yang
tingginya segunung gunung itu, menjadi ukuran dari orang yang mempunyai
cita-cita. Orang yang mempunyai cita-cita itu, gerak gelombang hatinya
berdeburan seperti itu.
Tentramya hati bila sudah tercapai yang diidam idamkan. Sruning brata ketaman wahyu dyatmika. Sruning brata itu, ketika sedang berjuang mencapai cita, ketaman, artinya, mendapatkan wahyu, yang artinya ganjaran kebahagiaan, sedangkan dyatmika artinya ketenangan, tempat kesentausaan yang langgeng.
Andika
harusnya meniru laku orang orang tua andika dimasa lalu. Retaknya
tembok dapat disaranani dengan melabur, rengatnya kayu bisa disopak.
Tetapi retaknya kewibawaan, pelaburan atau penyopakan itu hanya bisa
dilakukan dengan tapa-brata”.
“Kalau
begitu kakang, aku tidak ingin segera pulang ke Mandaraka. Walaupun
segawat apapun hutan didepan itu, aku akan tetap jalan kedalam-nya. Ayo
kita segera melanjutkan perjalanan. Jangan jauh jauh dari tempat aku
berdiri. Kalian hanya aku perbolehkan berjalan setidaknya satu jangkauan
tangkai tombak jaraknya” Agaknya Pamadi berkenan dengan kata
penyurung dari Semar. Maka kemudian diperintahkannya semua untuk bersiap
kembali menempuh perjalanan.
Demikianlah,
rombongan kecil itu kembali bergerak. Sekarang mereka masuk kedalam
hutan, turun naik ke jurang yang curam, dengan duri duri yang lebat
bergantungan. Tersuruk jalan mereka oleh sulur penjalin. Mereka tidak
ada rasa takut sedikitpun terhadap bahaya yang mungkin saja mengancam
didalam hutan itu.
Makin
ketengah Arjuna masuk kedalam hutan. Geger binatang hutan, mereka
berlarian menjauh dari rombongan itu. Kalaupun mereka bisa berbicara,
maka kita dapat mendengar suara mereka “ Heee teman semua,
menyingkirlah kalian semua. Kita membaui ada diantara mereka yang
menggunakan minyak Jayengkatong. Pastilah mereka bukan orang
sembarangan. Masih keturunan dari orang terhormat. Jangan sampai
tersenggol oleh mereka, walaupun kita hanya terpijak bayangannya, bakal
terkena walatnya. Mari kita segera menyingkir . . . menyingkir . . . .
“, demikian binatang itu segera menjauh dengan suara yang gemeretak
dan segera lingkungan sekitarnya menjadi bersih dari para binatang
hutan.
Terceritakan
ketika itu ada serombongan abdi negara dari Tirtakadasar. Mereka yang
membaui wanginya minyak Jayengkatong segera meloncat dari
persembunyiannya. Sambil mematahkan kayu kayu dari dahan pohon, berisik
gemeretak suaranya.
Pamadi
yang dihadang tidak tinggal diam. Dengan ancaman dari para raksasa
Tirtakadasar, Pamadi melawan seorang diri. Puluhan prajurit raksasa
bukan lawan yang sepadan walau ia dikeroyok. Banyak yang mati oleh
kesaktian Pamadi dan sebagian lain melarikan diri, ngeri oleh amuk
Pamadi.
Tapi
setelah segenap musuh yang telah banyak yang terbunuh dan yang masih
sayang dengan jiwanya melarikan diri, tiba tiba terjadi keanehan. Pamadi
tiba tiba berkeringat dingin, berleleran disekujut badan bagaikan anak
sungai. Kepalanya tiba tiba merasa pening dan badannya menjadi begitu
lemas. Seketika pingsan Raden Pamadi. Ternyata serapah Surtikanti telah
menjadi kenyataan.
Link pagelaran dari Ki Nartosabdo yang berhubungan dengan kisah diatas:
0 Komentar