Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.
Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.
Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.
“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan.
“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.
“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.
“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”
Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya.
“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.
“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.
Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.
“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.
Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.
“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak ! Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.
“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”.dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya.
“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.
“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.
Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.
“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”.
“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.
Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir.
Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.
Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya.
Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.
“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.
Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya.
“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu ?”
Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.
“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”.
“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan.
Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.
Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya.
Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.
“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.
Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang.
“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.
Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.
“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !”
Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.
Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.
Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.
Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna.
Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.
Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati.
Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya.
Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.
Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.
Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna.
Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya.
“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.
Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.
Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.
Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada.
Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi.
Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.
“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.
“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.
“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”
“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.
“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.
“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya.
“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.
“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna.
“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.
“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.
“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.
“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.
Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu.
Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.
Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung.
Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis.
Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian.
Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya.
Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya , muncul ditengah kejadian.
Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya.
“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”
“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”
“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran
“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya
“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang.
“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”
Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.
Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.
Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong sesama kawannya.
Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.
“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”
Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”
Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”.
“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.
“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.
“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” aku Arjuna
“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu.
“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.
“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.
Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.
“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.
*******
Sampai ke palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.
Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan.
Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.
Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.
Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.
“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.
Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata.
Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.
“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya.
Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !
Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam menlihat tempat persembunyian Jayadrata.
“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata !”
“Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”
“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”
Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.
Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.
Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.
Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.
Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.
Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.
Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.
Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.
Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.
Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu.
“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”
Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !
“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.
Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.
Berulang kalimat ini diucapkan.
Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.
Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.
Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.
Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.
Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.
Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.
Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.
Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . .
----------------------------
Sepenggal kisah Baratayudha , saya sampaikan lagi tulisan MasPatikrajaDewaku
Kisah gugurnya Burisrawa dan Jayadrata bersama Ki Manteb Sudhrasono dapat dinikmati :
Link : http://www.mediafire.com/?9an611xqc4849
Password : wayangprabu.com
0 Komentar