Berganti Cerah, udara Mandaraka.
Oleh MasPatikrajaDewaku (PPW 11-01-0006)
Dialah
Wasi Jaladara, nama lain dari Raden Kakrasana, putra sulung dari Prabu
Basudewa, raja di Negara Mandura. Pemuda berbadan sentosa dan berkulit
bule ini baru saja ia pulang dari bertapa di Argaliman, memenuhi
kehendak hati yang didorong oleh sifat satria pinandita dan juga
direstui oleh kebijaksanaan ayahndanya di Mandura.
Kaget
mendengar teriakan Larasati yang terburu-buru masuk ke dalam ruang
tengah, Jaladara segera menyongsong kedatangan Larasati dengan
menghujani pertanyaan seputar ketergesaannya menemui dirinya.
“Ada apa teriak teriak menggangguku, ada apa dengan adikku Rara Ireng?”
Kata Jaladara menanyakan kepada Larasati perihal teriakannya, yang
menyebut nama Bratajaya. Memang, Lara Ireng adalah panggilan sayang sang
kakak, Jaladara, kepada adik bungsunya, Bratajaya atau Sumbadra.
Ketika Jaladara keluar, segera Bratajaya berbalik menubruk kakaknya, mengadukan perihal apa yang terjadi, “Aku dikejar kejar lelaki, kakang!”
“Keparat . . . Sudah bosen hidup rupanya orang itu. Menyingkirlah aku akan hadapi. Kakrasana segera menyisihkan adiknya dan menghadapi orang yang disebut mengganggunya.
Tapi
setelah berhadapan, kemarahan Kakrasana menjadi buyar berganti dengan
rasa heran. Pamadi-lah yang tampak dengan senjata terhunus. “Heh kamu Pamadi. Aneh kalau kamu tidak kenal saudara tuamu Bratajaya. Kamu kesini mau apa?
Pamadi
yang juga kaget oleh adanya Kakrasana yang dikenalnya adalah Putra
Mahkota Mandura terdiam. Keheranan juga muncul oleh peristiwa yang
dianggapnya aneh, hingga mempertemukan kerabat Mandura ada di sebuah
kademangan kecil, Widarakandang.
Tak
lama kemudian, Pamadi menceritakan apa yang telah terjadi hingga ia
marah dan mendapatkan orang yang memberinya makanan yang sudah tidak
layak makan.
“Benar apa yang Pamadi katakan, Rara Ireng?”
“Kakang,
tanyakan ke Larasati, nasi dan lauknya itu tadinya ada di tempat
sanggar sesuci Kakang Kakrasana. Semua makanan yang ada disitu semuanya
enak dan pantas dimakan orang”. Bratajaya mendesak kakanya untuk menanyakan kebenaran cerita itu kepada Larasati.
Larasatipun berkata dengan sejujurnya mengenai keadaan makanan yang diberikan kepada Semar Badranaya.
“Lho, semua yang dikatakan Bratajaya makanan itu, semuanya enak. Bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya Kakrasana.
“Aku tidak merasa memberikan makanan bercampur pasir!!. Jawab Bratajaya yang dari tadi menggelendot ditubuh kakaknya, Jaladara.
Suasana
sebentar menjadi hening, karena teka teki seputar makanan yang
menyebabkan Pamadi menjadi marah. Semar yang dari tadi diam, kemudian
maju menjelaskan sebenarnya yang sudah terjadi, “Ya, kalau ada yang
salah, saya minta maaf. Sayalah yang mencampurnya dengan pasir.
Sebenarnya makanan yang berasal dari Putri Bratajaya dalam keadaan baik.
Tetapi sengaja aku campur dengan pasir. Saya Cuma menyesalkan,
momonganku ini tidak meniru leluhurnya dulu, Bambang Sakri, Bambang
Sekutrem, Palasara hingga Panembahan Abiyasa dan kemudian Pandu
Dewanata, yang bisa sebegitu lama tidak makan dan tidak kehausan walau
tidak minum seteguk airpun. Tapi ini, tidak makan tiga hari kok pingsan?
Bila satria yang mempunyai cita-cita, kemudian berhenti hanya karena
lapar, lha apa gunanya tapa bertahun tahun. Bila itu yang terjadi,
akhirnya semuanya yang telah didapat menjadi tawar, tidak berguna”.
Pamadi
merasa terpukul oleh kata-kata pemomongnya. Dipegangnya pundak Semar
dan kemudian berkata dengan nada menyesal, “Kakang, semua kesalahku aku
minta maaf. Kalau tidak ada kamu, entah apa yang akan terjadi terhadap
aku”
Semar terdiam sejenak, kemudian sambil memandang momongannya ia berkata, “Ya
sudahlah, kalau sudah merasa akan kesalahan yang sampeyan buat. Saya
hanyalah menjalankan darma sebagai pemomong yang tidak sekedar momong.
Harus bisa menjadi orang tua, juga harus bisa menjadi pembantu. Dan juga
harus menjadi penuntun langkah. Tadi itu sampeyan telah salah dalam
langkah”.
Kakrasana
yang dari tadi menjadi tidak mengerti awal mulanya memandang Pamadi
dengan air muka yang mengandung pertanyaan. Pamadi yang dipandanginya
mengerti akan kehendak tanya yang ada di mata Kakrasana, kemudian kata
Pamadi, “Baiklah kakang Kakrasana, semua kejadian tadi, sebenarnya
bermula dari putus asanya pikiran ini. Oleh sebab hamba sudah menjawab
kesediaan hamba kepada uwa Prabu Salya, untuk mencari hilangnya putri
Erawati. Sudah sebulan lamanya hamba mencari keberadaan kanda Erawati
yang hilang diculik, tetapi sampai saat ini belum terlihat tanda tanda
akan keberadaannya”.
Seperti
melihat kilatan ndaru kebahagiaan, Kakrasana menjadi terang pikirannya.
Kepekaan hati dan pikirannya yang begitu terasah oleh olah kapanditan
yang baru saja dijalaninya, telah menuntunnya kearah takdir yang akan
dihadapinya dimasa mendatang. Tetapi rasa kemanusiaannya menjadikannya
masih menanyakan kembali apa yang didengar adik misannya, “Nanti dulu, tadi kamu bilang mau kemana?”
“Hamba bermaksud mencari dimana hilangnya bunga kedaton Mandaraka, kanda Erawati, yang sudah sebulan ini hilang dari tempatnya”.
“Terus bagaimana kata raja Mandaraka?” Pertanyaan Kakrasana makin memburu.
“Siapa
yang dapat menemukan kanda Erawati, bila ia perempuan, akan dianggap
sebagai saudara sekandung. Bila yang menemukan adalah seorang pria, ia
akan dikawinkan dengan kanda Erawati”.
“Umpanya, aku yang menemukan, bagaimana?!” Jaladara
semakin penasaran. Nalurinya yang tajam telah meyakininya apa yang akan
terjadi hubungannya dengan Putri Mandaraka yang hilang itu.
“Terserah kanda Kakrasana saja.” Kata Pamadi dengan senyum.
Kembali
kepekaan seorang wasi menjadikan Jaladara melakukan tidakan yang tidak
tergesa gesa. Rancangan telah diatur didalam benaknya agar nanti
peristiwa yang berakhir menjadi akhir yang bahagia. Maka kemudian kata
Kakrasana, “Tapi kamu jangan bilang kepada Prabu Salya, kalau aku
ini Pangeran Pati dari Mandura. Bilang saja aku pendeta muda dari
Argaliman, sebut namaku Wasi Jaladara”.
Pamadi
mengangguk setuju. Daripada tidak menemukan Erawati sama sekali, maka
saudara misannyapun dapat menyingkirkan rasa malu atas kesanggupan yang
telah ia katakan kepada orang tua Banuwati. Demikianlah maka kedua
satria itu kemudian berangkat ke Mandaraka untuk meminta ijin mencari
hilangnya putri sekar kedaton.
---------------
Wajah
gembira memancar dari Prabu Salya yang telah kembali menerima
kedatangan kemenakan yang ia sayangi. Tidak sabar Prabu Salya segera
menanyakan ihwal kedatangannya kembali, “Pamade, bagaimana kabar dari kamu yang dulu sudah mempunyai kesanggupan untuk mencari hilangnya kakakmu Erawati?”
“Mohon
maaf uwa Prabu, walau sudah hamba umpamakan seputaran wilayah Mandaraka
sudah dijajaki, tetapi jejak kanda Herawati bagaikan tersaput kabut,
dan hamba gagal mencarinya. Tetapi tanpa disangka hamba bertemu dengan
seorang pendeta muda yang tengah bersemedi di Argaliman, beliaulah yang
sanggup mengembalikan kanda Erawati”.
Kegembiraan
Prabu Salya berganti sedikit kecewa. Terlihat mendung kembali meliputi
air muka Prabu Salya. Harapan kelewat besar yang ia letakkan di pundak
Pamadi telah runtuh oleh kata kata kepasrahan Pamadi.
Dengan sedikit acuh, Prabu Salya menanyakan siapa yang disebut oleh kemenakannya itu, “Ooh inikah orangnya? Siapakah kamu?”
“Hamba yang bernama Jaladara, asal hamba dari Pertapan Argaliman”. Jawab Jaladara yang berkata khidmat.
“Apakah kamu yang sanggup mengembalikan putriku Erawati?”.
“Hamba Paduka. Tidak hanya sanggup mengembalikan putri paduka saja, bahkan hamba juga sanggup meringkus penculiknya”.
Merah muka Prabu Salya oleh kata kata Jaladara yang menggambarkan kesombongannya. “Heh
Jaladara, kenapa kamu bisa mengatakan begitu? Apakah kamu sudah
mendapatkan titik terang siapa penculiknya dan dimana putriku
disembunyikan?”
“Tidak
usahlah hamba pergi dari Mandaraka. Nanti malam, semua penjaga malam
sebaiknya diliburkan. Hamba sanggup untuk meringkus penculik itu malam
nanti. Nanti tengah malam maling itu akan kembali ke Mandaraka”. Dengan sengaja Jaladara memperlihatkan kesanggupannya yang sedemikian tinggi.
“Jaladara. . . ! Perkataanmu itu sebenarnya sudah kelewat takabur!”
Prabu Salya bangkit karena sikap sombong Jaladara dan enggan meneruskan
pembicaraan dengan Jaladara. Ia mengalihkan pandangannya kepada
putranya, Rukmarata dengan ekor matanya. Rukmarata segera mengetahui
kehendak ayahndanya yang berjalan masuk ke dalam istanannya,
meninggalkan Pamadi, Kakrasana dan Rukmarata.
Rukmarata yang mengerti apa yang harus dilakukan, menatap tajam mata Jaladara sembari berkata, “Jaladara
. . . lancang ucapanmu. Bila nanti tidak terbukti, besok waktu
matahari terbit kepalamu akan aku pisahkan dari lehermu!”
Tidak
lagi banyak berkata, Jaladara segera beranjak dari paseban dengan
menggandeng Pamadi. Setelah sampai diluar, Pamadi yang dari tadi tidak
tahan mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Jaladara, segera memburu
dengan pertanyaan, “Kalau nanti malam kanda Kakrasana tidak bisa membuktikan kata-kata itu, betapa hamba akan mendapat marah dan malu, kanda”.
“Sudahlah,
tidak namanya aku mendahului kemauan yang kuasa. Tetapi catat, bahwa
aku rela kehilangan kepalaku bila ucapanku tidak terbukti. Tetapi
menjelang tengah malam ini aku mau istirahat dulu. Carikan aku pinjaman
tikar untuk sekedar beristirahat”. Santai Jaladara malah rebahan bersandar pada sebatang pohon beringin.
“Lho ini mau kerja apa mau istirahat?” Petruk yang tadi menyongsong kedatangan momongan dan saudara misannya menanya
“Namanya
kerja ya harus pakai istirahat. Kalau kerja tanpa Istirahat itu tidak
akan bertambah kekuatannya. Istirahat perlu untuk mendapat kekuatan
baru”. Bagong menyahut membela Kakrasana.
“Mohon maaf kanda, hamba orang baru disini. Hamba berlum mempunyai kenalan.”
Jaladara yang ternyata mempunyai mata batin yang begitu tajam tersenyum. Kemudian katanya, “Kamu boleh ingkar, Pamade. Tapi aku ini apamu? Aku ini saudaramu tua, semua yang ada di dalam dirimu, sudah aku ketahui”.
“Mohon maaf kanda, hamba belum punya kenalan”, sekali lagi Pamadi yang belum yakin akan kemampuan mata batin Kakrasana kembali berbohong.
Tetapi bagai tersengat kala, Pamadi terkesiap, ketika Kakrasana kemudian bertanya, “Bagaimana? Lha Banowati itu siapa?”
Pamadi
yang terkaget mendengar kata Kakrasana yang tajam memalu dadanya. Tanpa
berkata Pamade berlalu dengan cepat dari hadapan Jaladara dengan muka
yang memerah, sementara para panakawan mentertawakan momongannya salah
tingkah. Kemana Pamadi? Kembali ia berjalan ke keputren menemui
Banowati.
Tengah
malam. Kedua satria ini sudah ada ditempatnya masing masing. Arjuna
muda tidak terceritakan ada dimana dia ;), sedangkan Jaladara
bersembunyi menunggu pencuri dengan mata awas terbuka.
Benarlah.
Tengah malam telah menjelang, ketika putra raja Tirtakadasar, Raden
Kartapiyoga telah sampai di dalam beteng. Ketika ia masih melihat banyak
jaga malam yang berseliweran, dalam hati ia berkata, “Hmm, masih ramai keadaan dalam petamanan. Tapi aku tidak kurang akal, aku akan menyirep semua orang yang ada dalam taman sari”.
Sebentar
kemudian, niat itu telah ia ujudkan dengan mengucapkan mantra sirep
Begananda. Sirep sakti yang mengalirkan udara sejuk yang mampu membelai
sukma hingga mata menjadi terpejam, tidur nyenyak.
//Niat
ingsun anyirepi/Hong ilaheng awigena/Sirep lerep turu kabeh/Sagung
janma jroning pura/Awit karsaning Dewa, mung ingsun kang datan turu/Ya
jagad dewa bathara.//
Kidung
dengan mantra sakti telah ditembangkan. Demikianlah, maka satu demi
satu para penunggu telah jatuh tertidur. Terbahak Kartapiyoga setelah
melihat sekitarnya bergelimpangan prajurit jaga telah roboh tertidur. “Heh orang Mandaraka, jangan terkaget. Besok semua akan kehilangan Surtikanti dan Banowati!”.
Tetapi
Kartopiyoga memiliki ketelitan. Satu demi satu Kartapiyoga meneliti
orang orang yang jatuh tertidur, ia tidak mau pekerjaannya menjadi
terganggu oleh kecerobohannya. Sampai pada satu orang yang ia teliti,
Kartapiyoga merasa kagum. “Keparat, aku kira semuanya sudah roboh
tertidur siapa ini yang tertidur sambil berdiri dengan mata yang
diganjal paku? Gagah perkasa muka merah seperti tembaga yang baru
digosok. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini sebelumnya, ketika
pertama kali aku kesini. Tapi tidak perduli. Surtikanti, Banuwati dimana
kamu ?!!.
Kartapiyoga
yang terlalu percaya diri membiarkan Jaladara yang diraba masih diam.
Maka dengan lompatan panjang ia telah sampai disekitar keputren.
Jaladara yang mengamati ulah Kartapiyoga kemudian ganti bergerak cepat mengikuti langkah Kartapiyoga, dalam hatinya ia berkata, “Huh
hampir saja aku terlena. Berat mata ini terkena sirep Beganada. Itu
dia, maling sudah datang. Jangan berbangga dulu. Ini Jaladara yang
hendak menangkapmu !!”.
Belum
sempat menyentuh pintu keputren, Kartapiyoga tersentak ketika
punggungnya diraba telunjuk Jaladara. Secara tidak sadar, Kartapiyoga
mengelak tetapi sepasang tangan kokoh telah melekat dilengan
Kartapiyoga. Dengan naluri dan kesaktian tinggi, Kartapiyoga melepaskan
diri dari cengkeraman tangan Jaladara. Maka tanpa berkata sepatahpun,
pertempuran sengit segera terjadi.
Sedikit
demi sedikit ilmu mereka yang sedang bertempur telah dinaikkan untuk
mengatasi satu sama lain. Tetapi Kartapiyoga yang menjadi heran karena
ada salah satu penjaga malam Negara Mandaraka tidak gampang ditundukkan.
Dengan rasa penasaran akhirnya Kartapiyoga buka mulut. “Heh penjaga malam, siapa yang mengganggu kerjaku !!??.”
“Abdi Mandaraka namaku Jaladara! Siapa kamu maling yang berani menyatroni petamanan Mandaraka”.
“Tidak
pakai tedeng aling-aling. Aku pangeran pati dari Negara Tirtakadasar,
Putra Prabu Kurandayaksa, namaku Kartapiyoga! Sorongkan lehermu untuk
aku pisahkan dari badanmu. Agar tidak menggangu kerjaku memboyong
Surtikanti dan Banowati !”. Dengan percaya diri, Kartapiyoga
memberitahukan jati dirinya. Pikirnya tak ada seorangpun penjaga malam
Mandaraka yang bisa mengalahkannya. Bahkan dengan kepercayaan dirinya
yang tinggi ia hendak memisakan kepala dari tubuh penjaga malam itu.
Namun
waktu berlalu, Kartapiyoga makin keteteran menghadapi penjaga malam
yang sedemikan sakti, hingga ia sadar, fajar segera menjelang. Maka
dikerahkan kesaktiannya hingga batas tertinggi. Tetapi sekali lagi,
penjaga malam itu masih dapat melayaninya dengan nafas yang masih
teratur. Putus asa telah menghinggapi pikir Kartapiyoga. Maka segera ia
menerapkan ajian ajaran ayahnya, amblas ia kedalam tanah, melarikan
diri.
Ternyata
ada seorang lagi yang tidak kena sirep. Ialah Permadi. Usai Kartapiyoga
melarikan diri dan Kakrasana menghentikan usaha menangkap pencuri,
Pamadi mendekati Jaladara. Melihat kedatangan Pamadi, Jaladara
menjelaskan apa yang terjadi, “Permadi sudah ada titik terang. Aku
sudah mendapat siapa dan dimana pencuri itu. Pencurinya sudah aku
ketahui bernama Kartapiyoga anak raja Tirtakadasar. Aku hampir bisa
meringkusnya tetapi ia masuk kedalam bumi. Ternyata ia sangat sakti,
terbukti bisa lolos dari tanganku. Ayuh ikut aku mengikut jejak
Kartapiyoga”.
Tidak
lagi membuang waktu kehilangan jejak. Kesaktian Jaladara telah
menempatkan Pamadi dalam ruang cincinnya. Kesaktian Jaladara yang
sedemikian tinggi telah melacak arah lari Kartapiyoga.
Sampai dihadapan ayahnya, Kartapiyoga dengan tanpa malu menceritakan bagaimana ia dikalahkan oleh Jaladara. “Aduh
rama, ketiwasan. Masuknya hamba kembali ke Mandaraka ternyata disana
sudah ada prajurit segelar sepapan yang siap menyongsong. Hamba ketahuan
penjaga malam yang bernama Jaladara, sehingga terjadi perkelahian.
Kesaktian Jaladara ternyata sangat tinggi. Rama, saya pasrah jiwa raga”.
Marah Prabu Kurandayaksa, anak kesayangannya telah dilecehkan oleh penjaga malah bernama Jaladara, “Heeee . . sekarang giliranku. Pasti ia mengejar kamu kemari. Kita hadapi kedatangannya !!”.
Sementara
itu ditempat persembunyian Erawati, wanita malang yang sedang menangisi
nasibnya dikejutkan dengan kedatangan dua orang satria yang kelihatan
santun. Sebersit harapan telah tumbuh. Setelah ketiganya berhadapan,
tanya Erawati kepada keduanya meluncur, “siapakah kalian berdua ini?
Yang satu berwajah tampan dan yang satu lagi berbadan perkasa. Katakan
maksud kedatanganmu. Katakan, kisanak!”.
“Baiklah
raden ayu, terus terang hamba masih kulit daging andika. Hamba putra
mendiang Prabu Pandu Dewayana, nama hamba Pamadi”.
“Hamba hanya orang kecil saja, nama hamba Jaladara asal hamba dari Argaliman”. Keduanya memperkenalkan diri.
“Kedatangan
hamba tanpa dipanggil, adalah demi tugas yang dibebankan oleh ayah
kanda Dewi, Prabu Salya. Hamba harus berhasil memulangkan andika Sang
Dewi kembali ke Mandaraka”. Kata Pamadi kemudian.
“Begitu juga hamba yang sudah menyanggupi berdasarkan sayembara, yang siapapun dapat mengembalikan andika Sang Dewi kembali”. Jaladara menjelaskan
Gembira
bukan kepalang Erawati mendengar kesanggupan keduanya. Sebersit
keraguan masih saja menghinggapi hingga ia masih menanyakan kembali
tentang diri mereka, “Tapi kalian bukan dari golongan orang yang menipu, bukankan begitu?”
“Bukan
Raden Ayu, walaupun bagaimana pun andika Raden Ayu hendaknya bisa
membedakan dengan jelas, bahwa hamba masih termasuk kulit daging
Mandaraka”.
“Kalau
itu yang sebenarnya, aku hanya menurut kepada kamu berdua. Tetapi
apakah kamu datang kemari tidak diliputi oleh ancaman bahaya?” Kembali Erawati menyangsikan keduanya. Kesangsian oleh sebab perasaan takut yang telah mengurungnya hari demi hari.
“Benar Raden Ayu. Tetapi semua dapat hamba sisihkan terbukti hamba sudah sampai disini”. Jawab Jaladara meyakinkan.
Kalau begitu, bagaimana kamu bisa membawaku dari sini ?.
“Baik kami akan masukkan Raden Ayu kedalam cincinku”. Kata Jaladara kemudian memupus keraguan Erawati.
Demikianlah,
Erawati dan Pamadi telah kembali dimasukkan kedalam bilik cincin
Jaladara. Jaladara tidak mau diribetkan dengan Pamadi dan Erawati yang
tidak dapat mengarungi bahayanya dunia bawah air Tirtakadasar.
Setelah semuanya diatur rapi, Jaladara berrenang mencari adanya orang penting Tirtakadasar. “Heh orang Tirtakadasar, inilah aku Jaladara yang telah ganti menculik Erawati dari Tirtakadasar !!”
Maka
peremuan ketiga manusia itu telah menjadikannya Kerajaan Bawah air
Tirtakadhasan menjadi ajang pertempuran sengit. Tidak mudah Kakrasana
mengatasi Prabu Kurandayaksa yang memang lebih sakti daripada anaknya,
Kartapiyoga. Namun takdir telah jatuh. Kurandayaksa dan anaknya
Kartapiyoga tidak mampu mengalahkan Jaladara. Bahkan keduanya dapat
dimusnahkan setelah pertarungan sengit terjadi berhari hari.
Ketika
ia memeriksa masih adanya musuh dalam kerajaan bawah air itu, ia
bertemu dengan seorang wanita berujud raksasa yang dengan terang
terangan telah menjumpai Jaladara. Jaladara menjadi terheran dan
kemudian menanyakan siapa sebenarnya ia, “Aduh raden, hamba tidak ikut-ikutan”
“Siapakan andika yang berujud raseksi?”
“Hamba istri dari Prabu Kurandageni dan sekaligus ibu dari Kartapiyoga. Nama hamba Tapayati”.
Tanpa diperintah, Tapayati mengisahkan keberadaanya di dasar air, “Begini
raden. Sebenarnya hamba sangat tdak setuju dengan tindakan suami serta
anak hamba, memaksa putri Mandaraka menjadi istri dari anak hamba,
Kartapiyoga. Erawati sejak ada di Tirtakadasar setiap harinya hanya
menangis hampir tanpa henti. Saya yang menjadi saksi radenlah yang
menyelamatkan putri Prabu Salya itu. Hamba berharap agar hamba
diperkenankan ikut ke Mandaraka bersama andika dan Putri Erawati. Maksud
hamba adalah sebagai saksi mata bahwa radenlah yang telah berhasil
menyelamatkan Erawati dari sekapan anak dan suami hamba”.
“Baiklah aku tidak keberatan”.
Tadinya Jaladara ragu, tetapi kembali naluri seorang pertapa menyetujui
permintaan Tapayati. Tanpa membuang waktu lagi, Jaladara segera kembali
ke pinggir bengawan yang ternyata telah terkepung oleh wadya Astina.
Kemunculan
sosok manusia dengan tubuh berkult tembaga, sontak telah menggegerkan
wadya Kurawa yang segera mengepung Jaladara dari berbagai arah. Tombak
dan mata pedang telah merunduk mengacu ke tubuh Jaladara yang tetap diam
ditempat, namun tubuh yang basah berkilat merah tembaga tersinari
matahari, telah membuat para Kurawa kehilangan nyali. Seseorang kemudian
menyeruak diantara para prajurit dan nyaring berkata, “Hee kamu pasti yang telah membawa Dewi Erawati. Ayoh jangan banyak cakap, serahkan Dewi Erawati ke tangan Para Kurawa”.
Demikian sapa orang yang ternyata Sangkuni, mencoba menakuti Jaladara
dengan mengadang ditepi bengawan segelar sepapan dengan wadya
mengurungnya.
Jaladara yang tidak mau dihardik menjawab, “Ini hakku, tidak satupun orang yang akan aku serahi Erawati kecuali ayahnya sendiri, Prabu Salya”. Jawab Jaladara tegas.
Aba–aba
telah diteriakkan oleh Sangkuni. Para prajurit Astina bergerak serentak
mengepung rapat Jaladara. Tidak tinggal diam, Jaladara mengibaskan
tangannya dan beberapa pengepung telah terjerembab ketanah. Namun
serangan telah bergelombang kembali mengalir. Tidak mau membuang waktu
dan banyak jatuh korban, tidak lama kemudian dalam rapatnya kepungan
Jaladara melompat dan meloloskan diri. Diluar lingkaran pertempuran,
Jaladara memetik sekuntum bunga, kemudian dipujanya menjadi sosok Dewi
Erawati.
Gembira
sorak Para Kurawa telah menemukan Dewi Erawati palsu yang kemudian
digendong kedalam tandu untuk dibawa ke Mandaraka. Pada saatnya nanti
kegembiraan para Kurawa berubah sebaliknya ketika sampai di Mandarka,
Erawati telah kembali ke ujud semula, sekuntum bunga.
------------------------
Mendung
telah tersaput angin. Cerah wajah Prabu Salya ketika menemukan kembali
putri sulungnya dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Tak lama kemudian
setelah kedatangan Jaladara kembali ke Mandaraka, dipanggilnya Wasi
Jaladara kehadapan Prabu Salya, “Kamu sudah membuktikan omonganmu
bisa mengembalikan anakku Erawati. Dan aku juga akan membuktikan
janjiku, tidak akan ingkar. Tetapi hendaknya kamu bersabar, tunggulah
hari baik. Tapi lain dari itu, aku melihat ada raksasa wanita. Siapakah
ia Jaladara?”.
“Silakan gusti Prabu menanyakan sendiri jati dirinya”. Jawab Jaladara takzim.
“Heh wanita raksasa, siapakah dirimu sebenarnya?” Prabu Salya memandangi Raseksi itu sambil bertanya.
“Hamba adalah ibu dari Kartapiyoga yang telah terbunuh Jaladara.”
“Aku
ingin tahu bagaimana kamu beserta keluarga dan para pengikutmu berdiam
disuatu negara didalam air yang bernama Tirtakadasar?”
“Terus
terang hamba sebagai istri dari Prabu Kurandayaksa sebenarnya dahulu
hamba diculik. Ketika hamba sedang mencuci ditepi Bengawan Swilugangga,
tidak mengerti datangnya bahaya, hamba diseret kedalam bengawan. Dari
situlah hamba dijadikan istri dari Prabu Kurandayaksa. Demikian hingga
yang terjadi, hamba mempunyai anak bernama Kartapiyoga itu”.
“Lho, andika itu berasal dari mana asal usulnya?” Ketertarikan akan jalan cerita raseksi itu, Prabu Salya kemudian menanyakan lebih dalam.
“Hamba
adalah putri pendeta bernama Begawan Bagaskara, hamba terpisah dengan
ayah hamba Begawan Bagaskara sejak saat itu. Ayah hamba dua bersaudara,
yang muda bernama Begawan Bagaspati, dua duanya adalah pendita yang
berujud raksasa. Juga berputri satu yang namanya adalah Pujawati.
Hambalah yang bernama Tapayati”.
Terkesiap
hati Dewi Setyawati, istri Prabu Salya yang ikut dalam lingkungan
pembicaraan. Karena ialah putri dari Pendita di Argabelah, kakak beradik
Begawan Bagaspati dan Begawan Bagaskara. Setyawati alias Pujawati
bergerak mendekat ketika mendengar kisah dari Tapayati yang kemudian
memeluknya, “Kanda, hambalah yang bernama Pujawati itu. Aku sudah beranak lima kanda!”.
Hening
para hadirin yang ikut dalam sidang ketika melihat keduanya saling
berpelukan. Seakan mereka ikut merasakan betapa takdir telah
mempertemukan kedua saudara misan itu dalam pertemuan yang tak
diduga-duga. Ketika suasana haru tela mereda, Tapayati berkata memohon
maaf kepada suami istri itu, “Mohon maaf Sang Prabu, bahwa anak hamba Kartapiyoga yang telah beraninya menculik saudaranya sendiri, Erawati.”
“Tapi aku masih heran, bagaimana Prabu Kurandayaksa bisa membuat Istana dalam air dan bermukim disitu?”. Tanya Prabu Salya.
“Itu
adalah kekuatan dari pusaka yang bernama manik sotyaning candrama yang
bisa digelar dan digulung. Bisa diringkas menjadi satu ujud seperti yang
hamba bawa ini”.
“Oooh itukah bentuk pusaka itu?” Takjub Prabu Salya melihat kesaktian pusaka yang dibawa Tapayati
“Kecuali
dapat digelar dan digulung sebagai gelaran sebuah negara, pusaka ini
juga dapat dibuat sarana untuk mengubah segala bentuk yang buruk menjadi
ujud yang baik” tambah Tapayati.
“Apakah kira kira dapat dipakai untuk meruwat ujud ayunda yang serupa raseksi?”
“Itulah yang sebenarnya hamba inginkan . . . . ”. Tapayati menjawab dengan wajah yang berharap.
“Baiklah ayunda. Tahanlah nafas ayunda, aku akan merubah ujud ayunda sebagaimana yang ayunda inginkan”.
Begitulah kesaktian pusaka manik sotyaning candrama tlah dijadikan
sarana untuk mewujudkan keinginan Tapayati. Kehendak Dewa telah terjadi,
Tapayati berganti ujud yang buruk menjadi sosok cantik mirip dengan
dewi Setyawati.
Kembali Setyawati dan Tapayati berrangkulan haru. Kebahagiaan telah merebak diantara saudara trah Bagaspati dan Bagaswara. “Bagaimana hamba dapat mengucapkan terimakasih sinuhun?
“Tidak usahlah berterimakasih kepadaku.”
“Bagaimanapun,
hamba harus mempunyai rasa terimakasih. Hamba berjanji, dinda Pujawati
semogalah seluruh isi jagad menyaksikan, sampai ajal menjemput, kita
berdua tak akan dapat terpisahkan.” Sumpah Tapayati akan terjadi.
Hidup mereka berdua berakhir di padang Kurusetra ketika Prabu Salya
gugur di medan perang Baratayuda.
Setelah hening sejenak, Prabu Salya berkata, “Tapi
begini ayunda, karena ayunda sudah berujud manusia yang sempurna
ujudnya, akan aku ubah nama ayunda dengan nama baru; Endang Sugandini”.
Demikianlah,
mendung telah benar benar tersaput dari langit Mandaraka. Jaladara
sabar menunggu waktu yang telah dijanjikan. Ketika waktu telah
ditakdirkan, Jaladara yang kemudian menjadi suami setia dari Erawati,
setia hingga akhir hayat. Wasi Jaladara atau Kakrasana bertahta di
Mandura dengan jejuluk Prabu Baladewa
Link Pagelaran Wayang dari Ki Nartosabdo yang berhubungan dengan keseluruhan cerita Mendung diatas Mandaraka dapat dilihat di:
atau ingin mempelajari pedhalangan lengkap dengan cerita ini, Bukunya dapat diunduh di:

0 Komentar